Monday, November 26, 2007

Koopetisi atau kompetisi ??


Persaingan bisnis, di arena manapun, tak bisa dielakkan. Bukan mesti disengaja, tapi secara natural selalu terjadi. Di dunia bisnis seluler, demikian sengitnya, akhirnya masuk pada pilihan yang paling rawan dan keras tapi klasik: persaingan harga. Jadinya banting-bantingan harga sampai bisa terjebak dalam service (layanan) yang kadang terlupakan.

Perbankan, tak ayal juga seru dalam melakukan persaingan. Terutama dalam strategi akuisisi pelanggan. Apalagi dengan makin banyaknya model bisnis di mana bisnis bank tidak sekadar untuk mendapatkan dana nasabah dan memutar dana nasabah, tapi sudah masuk bisnis saham. Dimana jumlah customer dijadikan sebagai objek untuk valuasi perusahaan termasuk bank. Sehingga program retensi sering dilupakan.

Akibatnya pelanggan baru lebih dinikmatkan sedangkan pelanggan lama yang setia justru dilupakan.Airline, lebih seru lagi. Dengan munculnya paket-paket murah penerbangan, antar operator juga sudah masuk wilayah peperangan yang seru: harga murah.

Ketika kemudian banyak terjadi kecelakaan beberapa waktu lalu, maka mulai menyoal dengan biaya maintenance yang mungkin terabaikan, sehingga keselamatan penumpang jadi pertaruhan.Masih banyak lagi peta bisnis lain yang tak terekam lebih di sini.

Namun dari contoh-contoh sekilas di atas, menunjukkan betapa besarnya risiko sebuah usaha yang harus dihadapi, ketika masuk peta persaingan riil. Di era non monopoli -- kecuali duopoli telekomunikasi Telkom-Indosat untuk full services telekomunikasi -- semua persaingan terjadi secara natural. Tak ada lagi main proteksi, tak ada lagi main katabelece, anak emas - anak tiri, dll.

Tak jarang antarperusahaan berdarah-darah untuk bersaing. Untuk melahirkan sebuah produk, sementara biaya developmentnya mahal, jualannya harus murah. Untuk murah itu, memang akan mendapatkan untung sedikit, harus mengejar volume penjualan, namun untuk jual murah harus keluar duit besar agar orang tahu kalau produknya murah, yakni Promosi.

Di bisnis global, sudah mulai dirasakan dilakukan koopetisi. Dalam hal ini, perusahaan tidak mesti membangun seluruh item secara mandiri dari A to Z. Di telekomunikasi misalnya, perusahaan seperti Orange, Vodafone, atau Telefonica tidak membangun seluruh BTS sendirian. Namun, BTS bisa dimanfaatkan bersama dengan sistem share traffic. Bahkan dengan sistem MVNO perusahaan perorangan yang memiliki lokasi titik optimum untuk tempat BTS, bisa menjadi operator agregator yang mendapatkan keuntungan dari traffic pelanggan sehingga akan mendapatkan share revenue dari operator besar sebagai pengguna BTS.

Bila hal itu dilakukan di sini, sejak lama, bisa jadi harga pulsa ke pelanggan bisa semakin murah. Karena tidak seluruhnya item biaya ditanggung sendiri oleh operator tersebut.BANKDahulu, dalam dunia perbankan Indonesia juga terjadi persaingan keras. Dengan rayuan investasi teknologi, bank banyak yang menjadi korban investasi yang sangat bergantung pada vendor.

Akhirnya, antarbank sadar dan terasa bahwa investasinya tinggi sehingga perhitungan ROI (return of investment) akan lama terkejar. Sehingga, ditemukan terobosan ATM bersama, platform bersama dan NOC (network operation center) system bersama. Di sini hardware yang berisi software dan data klien bisa dikelola bersama, dimanfaatkan bersama, tidak harus investasi sendiri-sendiri. Jadinya, perbankan tidak harus investasi besar-besaran tapi bisa memanfaatkan network bersama tersebut dengan tanpa mengurangi kualitas layanan.

ISP-HOSTINGBarangkali para pemain bisnis di bidang IT, utamanya penyediaan jasa internet sudah lebih dulu sadar dengan koopetisi ini. Tatkala harga bandwidth sebagai hal utama mata dagangan ISP menjadi beban pengguna, harganya mahal, masa tempuh (akses/loading) lama, para pemain ISP menemukan mekanisme exchange.

Strategi Bill Manning itu kemudian diterapkan di Indonesia dan dibangunlah internet exchange di Indonesia (IIX/Open IXP).Seluruh aliran data dari website yang dibawa oleh ISP dikumpulkan ke IIX, dan seluruh aliran pengambilan data juga mengarus dari exchange ini, sehingga jatuhnya ke pelanggan, beban bandwidth-nya tidak banyak, jadi lebih murah. Pelanggan membayar yang perlu saja.

Pada prinsipnya, setiap arena bisnis yang sama, meski masing-masing mengeluarkan jurus strategis dan unik, selalu ada lapangan atau layanan yang bisa dilakukan secara bersama-sama, atau common need. Common need ini bukan masuk wilayah politis atau strategi, tapi lebih ke teknis operasional.Sebagai contoh perusahaan impor-ekspor, selalu ada common misalnya sewa gudang.

Para pemain konten atau e-commerce, perlu common mengenai alat pembayaran atau payment gateway. Ada beberapa common – sesuatu yang menjadi concern bersama – itulah yang bisa dilakukan. Biasanya bisa dimulai dengan nasib bersama sehingga kumpul dalam sebuah wadah/asosiasi. Mulai dari komunitas dulu misalnya. Kemudian dalam beberapa pertemuan antarpersonal atau antar-entity akan dilakukan pembahasan bersama yang tidak bertabrakan dengan bisnis inti masing-masing.

Namun justru membuat semacam fasilitas bersama, yang – mungkin – nirlaba. Inilah model-model koopetisi, yang ujungnya akan sangat positif bagi perusahaan sehingga bisa menekan biaya, memurahkan harga ke end-user/pembeli, dan mempercepat ROI (return of investment). Ini adalah kata kunci.

Siap berkompetisi, mestinya juga siap berkoopetisi.
Sumber : Sapto Anggoro, Detik

Salam Funtasticc
"Menuju 11 Digit"

No comments: