Ilmu pemasaran bukanlah ilmu yang benar-benar murni. Ilmu ini mengadopsi berbagai ilmu yang sudah ada, mulai dari ekonomi, psikologi, sosiologi, dan lain-lain. Bahkan pemasaran kini mulai masuk ke lahan keuangan pada saat orang berbicara mengenai Marketing ROI (Return on Investment). Namun ilmu yang terdekat dengan pemasaran adalah ilmu ekonomi.
Itulah sebabnya jurusan pemasaran kebanyakan merupakan bagian dari fakultas ekonomi. Istilah pasar sendiri mulai muncul pada saat terjadi revolusi ekonomi yakni revolusi industri. Pemasaran muncul pada kondisi dimana para pekerja yang memperoleh pendapatan dari hasil kerja mereka kemudian membelanjakannya.
Muncullah kemudian kegiatan penciptaan produk yang memenuhi keinginan konsumen, harga yang bersaing, promosi sampai pendistribusian barang. Semua perilaku ini kemudian terlihat memiliki pola tertentu sehingga pada akhirnya bisa ditarik sebuah teori menjadi teori pemasaran.
Dalam pandangan ilmu ekonomi dikenal tiga hal yang dipelajari pertama kali. Pertama, ekonomi berbicara soal keterbatasan sumber daya. Tidak ada sumber daya yang tidak terbatas, oleh karena itu ilmu ekonomi berupaya mencapai hasil yang maksimum dengan sumber daya yang terbatas.
Hal yang sama terjadi juga dalam dunia pemasaran. Para pemasar dituntut untuk bisa mencapai kinerja pemasaran yang maksimal dengan sumber daya terbatas. Apa itu kinerja pemasaran? Banyak, mulai dari merek yang kuat, market share yang besar, penjualan yang tinggi, pelayanan yang prima, profit, loyalitas, dan lain-lain.
Berbagai hal tersebut harus dicapai dengan dana promosi yang terbatas, organisasi pemasaran yang tidak besar, produksi yang terbatas dan lain-lain.
Banyak pemasar biasanya bersungut-sungut melihat beberapa merek besar yang sepertinya memiliki sumber daya yang tidak terbatas. Mereka mengeluarkan dana promosi yang seolah tak ada habisnya. Sebaliknya para pemasar dari merek-merek besar sama-sama bersungutnya jika dikatakan bahwa merek mereka sukses karena mega bujet yang mereka miliki dan bukan karena kecerdikannya.
Tapi seperti takdir manusia, ada yang diberi keunggulan secara lahiriah dan ada yang kurang. Bagi yang memiliki keterbatasan, tentu saja harus semakin cerdik. Karena memiliki keterbatasan, maka pemasar harus melakukan pilihan-pilihan, yang sering juga disebut sebagai trade off.
Artinya kita harus memilih salah satu kesempatan dan menukarkannya dengan kesempatan yang lain. Misalnya saja, ada beberapa area yang cocok untuk kita melakukan penetrasi pasar. Namun karena keterbatasan dana dan organisasi perusahaan akhirnya membuat area tertentu lebih dipilih dibandingkan area lain.
Akibatnya, area lain tersebut bisa saja direbut oleh pesaing. Itulah risiko yang timbul dari sebuah keputusan. Dalam ekonomi, sering disebut sebagai opportunity cost, yakni biaya yang timbul sebesar kemungkinan keuntungan yang diperoleh jika kita menggarap area yang tidak kita garap sekarang ini.
Seorang pemasar harus berupaya memperkecil opportunity cost yang timbul agar keputusan yang diambil benar-benar bernilai. Kadang-kadang pemasar menentukan sesuatu berdasarkan perasaan bukan atas dasar riset untuk menentukan segmen pasar mana yang benar-benar bernilai. Akibatnya keputusan ini menimbulkan opportunity cost yang besar, atau kehilangan kesempatan yang lebih besar untuk diraih.
Keterbatasan sumber daya, trade off dan opportunity cost hanya sebagian kecil saja fenomena ekonomi yang dihadapi oleh pemasar. Namun demikian ilmu pemasaran lama-kelamaan justru bergerak melewati batas-batasa ilmu ekonomi.
Contohnya, harga sebuah produk dalam dunia pemasaran bukan ditentukan oleh supply dan demand tetapi bisa dikarenakan kekuatan merek sehingga pembeli mau membeli di atas harga yang seharusnya. Bahkan ketika harga semakin naik, permintaan bukan semakin turun tetapi justru meningkat.
Merek memang sesuatu yang kurang diperhatikan dalam ilmu ekonomi. Soalnya merek memang sulit dijelaskan dalam kurva, garis maupun hitungan ilmu ekonomi. Produk yang sama namun dengan merek yang berbeda bisa menghasilkan hubungan ekonomi yang berbeda.
Ilmu ekonomi membuat kurva permintaan dan penawaran lebih cocok diterapkan untuk produk-produk komoditas, padahal merek bekerja melampaui urusan permintaan dan penawaran. Itulah sebabnya ekonomi negara disebut tidak maju kalau hanya berpikir soal barang komoditas. Mereka mengekspor barang-barang komoditas seperti karet, kayu, minyak, gas, batubara dan lain-lain. Sementara ekonomi yang lebih maju berpikir untuk mengekspor value added. Mereka tidak mengekspor karet tetapi ban mobildan tidak mengekspor kayu tetapi mebel.
Nah, ekonomi negara yang sudah lebih maju lagi ternyata sudah tidak lagi mengekspor ban mobil tetapi merek Bridgestone dan tidak mengekspor mebel tetapi merek Ikea. Mereka boleh saja menaruh pabriknya di negara-negara lain, tetapi begitu diberi label merek, maka uang terbanyak akan masuk ke negara yang memiliki merek tersebut.
Masalahnya membangun merek sepertinya hanya menjadi urusan sektor swasta, alias menjadi urusan yang terlalu mikro. Padahal kalau Indonesia punya satu merek saja sebesar Coca-cola maka Indonesia tidak perlu lagi mengekspor komoditas lainnya. Bayangkan, kita tinggal menaruh pabrik kita di seluruh dunia dan memetik keuntungan dari setiap pabrik yang dibangun.
Memang membangun merek memerlukan usaha yang lebih besar. Menjual barang komoditas hanya melihat permintaan dan penawaran saja. Sedangkan ketika membangun merek, kita harus mampu membangun kepercayaan (trust) yang tinggi dan itu bukan pekerjaan setahun dua tahun.
Membangun merek juga membutuhkan strategi pemasaran yang tepat, misalnya memilih segmentasi, membangun positioning sampai menjalankan elemen-elemen 4P (Product, Price, Place dan Promotion).
Contohnya, mana yang menurut Anda lebih menarik emosi orang untuk berkunjung: Unity in diversity (Indonesia) atau Trully Asia (Malaysia)?
Jadi, kalau berkunjung ke sebuah negara, pemerintah ada baiknya juga membawa para pemilik merek besar yang sudah siap go internasional, bukan hanya penjual barang komoditas. Pemerintah harus memahami bahwa kekuatan ekonomi negara pada masa sekarang dibangun oleh kekuatan para pemilik merek yang ada di dalam negara tersebut.
Pemerintahan yang lebih tertutup seperti China pun merestui pembelian IBM oleh Lenovo, sebuah perusahaan komputer dari China. Artinya, mereka pun sadar kekuatan merek IBM bisa mendongkrak kinerja merek China.
Jadi bisa disimpulkan bahwa ilmu pemasaran pada akhirnya harus berperan dalam membangun ekonomi negara di masa mendatang. Ada hal-hal yang ternyata bisa membalikkan asumsi ilmu ekonomi yang telah ada, dan tahukah Anda semua asumsi itu bisa dibalikkan oleh satu hal yang merupakan kekayaan paling mendasar dari ilmu pemasaran?
Ya, Kreativitas!
(Sumber : PJ. Rahmat Susanta, Editor in Chief - Majalah Marketing)
Agus Ali S.
"Menuju 11 Digit"
No comments:
Post a Comment