Banyak yang marah ketika usahanya disebut follower. Kenapa nggak berani bilang, ya memang kita follower, so what? Adakah follower yang berhasil? Banyak yang nyinyir ketika ada perusahaan menjadi follower.
Banyak yang marah ketika usahanya disebut follower. Kenapa nggak berani bilang, ya memang kita follower, so what?Adakah follower yang berhasil?
Follower memang meminderkan orang, karena identik dengan tidak kreatif. Follower memang bisa menjadi awal yang tidak baik. Bahkan sepanjang usahanya, seorang/perusahaan yang sudah dicap sebagai pengikut atas usaha orang lain atau produk orang lain, harus membuktikan diri bahwa usahanya bagus.
Sebentar. Sebelum masuk pembahasan lebih jauh, izinkan saya sampaikan beberapa pengalaman. Suatu hari ketika harus merekrut orang untuk sebuah posisi, pelamar bilang dirinya kreatif bahkan inovator. Sehingga saya mestinya menerimanya.
Namun ketika ditanya bukti dari inovasinya, dia menyebutkan karya-karya seperti yang sudah terjadi di manca negara. Loh, itu bukan inovasi tapi menjiplak asing. Dia bersilat lidah bahwa mempraktekkan yang belum ada menjadi ada di sebuah tempat, itu inovasi juga. Katanya lagi, di dunia ini tidak ada yang benar-benar bisa disebut sebagai inovasi murni.
Benarkah?Inovasi memang menjebak. Maka dalam sebuah tulisannya, Dan Saffer seorang kolomnis bisnis yang berlatar belakang desainer, menilai sebagian besar yang terjadi lebih sebagai enrichment ketimbang inovasi.
Apalagi inventor, jauh dari itu.Toyota bisa jadi membuat mobil karena mereka belajar di GM. Namun kemudian mereka bisa melakukan enrichment dan mengembangkan lainnya sehingga maju. Al Jazeera bisa jadi dianggap mencontek CNN dengan laporan berita perangnya. Namun dengan sudut pandang yang berbeda, membuat mereka kemudian menjadi acuan.
Nah, kalau memang Anda menjadi follower dan bisa running, mengapa malu mengakuinya. Di industri rokok misalnya, kita tahu yang pertama adalah A-Mild milik HM Sampoerna. Kemudian setelahnya ada StarMild, ClassMild, X-Mild, LA-Light dll.
Mereka harus diakui adalah pengikut. Sampai sekarang, leadernya masih A-Mild. Namun apakah yang lain tidak mendapatkan limpahan rizki, pasti dapat. Limpahan inilah yang penting. Asal sabar dan menerima sebagai produk yang mendapat keuntungan dari limpahan, cukup.
Kata cukup itulah yang tabu untuk diikuti selama ini. Maunya lebih, lebih, dan lebih. Namun malas melakukan survei secara menyeluruh dan seksama.
Mendapatkan pemasukan atau revenue dari limpahan, bukan berarti jelek. Karena, bisa jadi, secara cost jatuhnya optimum. Sebab, untuk memproduksi barang tersebut tidak mengeluarkan beberapa biaya lain seperti survei pasar, riset rasa, riset kemasan, pricing strategy dll. Cukup melakukan benchmark, beres.Ada contoh yang lebih mengena.
Dalam sebuah kesempatan, ada seorang pengusaha makanan yang membuka warung/restonya di tempat yang strategis. Strategis yang dimaksud dia adalah, tempat kosong di dekatnya resto yang sudah laris. Alasannya mendekat warung yang sudah laris? "Ya, kita terima limpahan saja. Kalau warung sebelah saya yang sudah ngetop penuh, siapa tahu calon konsumen berkenan ke warung saya," kata sang pengusaha, simpel.
Dia tidak berambisi untuk menyaingi warung yang sudah mapan. Buktinya, dia tidak menjual makanan yang sama. Dia tidak menjual harga yang terlalu jauh harganya, agar tidak merusak harga. Dia juga tidak berambisi untuk mengalahkan atau "head to head" dengan warung yang sudah mapan. "Saya kan follower dia, tapi puas.
"Mengapa puas, orang ini pun membuka rahasia. Bahwa kalaupun dia tidak bisa selaris dari warung sebelah, dia cukup senang. Bukan berarti dia keuntungannya tidak bisa sebesar di sebelahnya. Paling tidak, dia tidak mengeluarkan biaya survei lokasi yang harus dilakukan berkali-kali.
Sebab, sebuah tempat makanan, toko, bengkel dan lain-lain, soal lokasi usaha itu penting. Kalau boleh ditanya berkali-kali apa faktor yang membuat usaha Anda bagus, maka jawabnya bisa jadi : lokasi strategis, lokasi strategis, sekali lagi lokasi strategis.
Jadi?
Sumber : Sapto Anggoro (detikpublishing.com)
Agus Ali S.
"Menuju 11 Digit"
Banyak yang marah ketika usahanya disebut follower. Kenapa nggak berani bilang, ya memang kita follower, so what?Adakah follower yang berhasil?
Follower memang meminderkan orang, karena identik dengan tidak kreatif. Follower memang bisa menjadi awal yang tidak baik. Bahkan sepanjang usahanya, seorang/perusahaan yang sudah dicap sebagai pengikut atas usaha orang lain atau produk orang lain, harus membuktikan diri bahwa usahanya bagus.
Sebentar. Sebelum masuk pembahasan lebih jauh, izinkan saya sampaikan beberapa pengalaman. Suatu hari ketika harus merekrut orang untuk sebuah posisi, pelamar bilang dirinya kreatif bahkan inovator. Sehingga saya mestinya menerimanya.
Namun ketika ditanya bukti dari inovasinya, dia menyebutkan karya-karya seperti yang sudah terjadi di manca negara. Loh, itu bukan inovasi tapi menjiplak asing. Dia bersilat lidah bahwa mempraktekkan yang belum ada menjadi ada di sebuah tempat, itu inovasi juga. Katanya lagi, di dunia ini tidak ada yang benar-benar bisa disebut sebagai inovasi murni.
Benarkah?Inovasi memang menjebak. Maka dalam sebuah tulisannya, Dan Saffer seorang kolomnis bisnis yang berlatar belakang desainer, menilai sebagian besar yang terjadi lebih sebagai enrichment ketimbang inovasi.
Apalagi inventor, jauh dari itu.Toyota bisa jadi membuat mobil karena mereka belajar di GM. Namun kemudian mereka bisa melakukan enrichment dan mengembangkan lainnya sehingga maju. Al Jazeera bisa jadi dianggap mencontek CNN dengan laporan berita perangnya. Namun dengan sudut pandang yang berbeda, membuat mereka kemudian menjadi acuan.
Nah, kalau memang Anda menjadi follower dan bisa running, mengapa malu mengakuinya. Di industri rokok misalnya, kita tahu yang pertama adalah A-Mild milik HM Sampoerna. Kemudian setelahnya ada StarMild, ClassMild, X-Mild, LA-Light dll.
Mereka harus diakui adalah pengikut. Sampai sekarang, leadernya masih A-Mild. Namun apakah yang lain tidak mendapatkan limpahan rizki, pasti dapat. Limpahan inilah yang penting. Asal sabar dan menerima sebagai produk yang mendapat keuntungan dari limpahan, cukup.
Kata cukup itulah yang tabu untuk diikuti selama ini. Maunya lebih, lebih, dan lebih. Namun malas melakukan survei secara menyeluruh dan seksama.
Mendapatkan pemasukan atau revenue dari limpahan, bukan berarti jelek. Karena, bisa jadi, secara cost jatuhnya optimum. Sebab, untuk memproduksi barang tersebut tidak mengeluarkan beberapa biaya lain seperti survei pasar, riset rasa, riset kemasan, pricing strategy dll. Cukup melakukan benchmark, beres.Ada contoh yang lebih mengena.
Dalam sebuah kesempatan, ada seorang pengusaha makanan yang membuka warung/restonya di tempat yang strategis. Strategis yang dimaksud dia adalah, tempat kosong di dekatnya resto yang sudah laris. Alasannya mendekat warung yang sudah laris? "Ya, kita terima limpahan saja. Kalau warung sebelah saya yang sudah ngetop penuh, siapa tahu calon konsumen berkenan ke warung saya," kata sang pengusaha, simpel.
Dia tidak berambisi untuk menyaingi warung yang sudah mapan. Buktinya, dia tidak menjual makanan yang sama. Dia tidak menjual harga yang terlalu jauh harganya, agar tidak merusak harga. Dia juga tidak berambisi untuk mengalahkan atau "head to head" dengan warung yang sudah mapan. "Saya kan follower dia, tapi puas.
"Mengapa puas, orang ini pun membuka rahasia. Bahwa kalaupun dia tidak bisa selaris dari warung sebelah, dia cukup senang. Bukan berarti dia keuntungannya tidak bisa sebesar di sebelahnya. Paling tidak, dia tidak mengeluarkan biaya survei lokasi yang harus dilakukan berkali-kali.
Sebab, sebuah tempat makanan, toko, bengkel dan lain-lain, soal lokasi usaha itu penting. Kalau boleh ditanya berkali-kali apa faktor yang membuat usaha Anda bagus, maka jawabnya bisa jadi : lokasi strategis, lokasi strategis, sekali lagi lokasi strategis.
Jadi?
Sumber : Sapto Anggoro (detikpublishing.com)
Agus Ali S.
"Menuju 11 Digit"
No comments:
Post a Comment